Bulan Ramadhan adalah bulan penuh rahmat dan ampunan. Allah SWT menjanjikan lewat lisan Rasul-Nya, Muhammad SAW, bahwa semua amal ibadah di bulan tersebut dilipatgandakan, dan permohonan ampun dari mulut siapa pun akan dikabulkan.
Jika mengetahui keistimewaan di dalamnya, tentu tidak satu pun kaum Muslim yang ingin melewatkan momen Ramadhan dengan sia-sia. Sayangnya, sering kali kaum Muslim lebih mudah dibuai obral aneka barang dan jasa menjelang dan selama Ramadhan, ketimbang mengambil kesempatan untuk memburu pahala yang tiada tara murahnya (baca: mudah didapat) di sepanjang Ramadhan.
Apa yang menyebabkan kealpaan umum seperti itu lazim terjadi? Bisa macam-macam sebabnya. Beberapa akan dibeberkan berikut ini.
Jika mengetahui keistimewaan di dalamnya, tentu tidak satu pun kaum Muslim yang ingin melewatkan momen Ramadhan dengan sia-sia. Sayangnya, sering kali kaum Muslim lebih mudah dibuai obral aneka barang dan jasa menjelang dan selama Ramadhan, ketimbang mengambil kesempatan untuk memburu pahala yang tiada tara murahnya (baca: mudah didapat) di sepanjang Ramadhan.
Apa yang menyebabkan kealpaan umum seperti itu lazim terjadi? Bisa macam-macam sebabnya. Beberapa akan dibeberkan berikut ini.
Tidak Siap Mental
Ketidaksiapan mental dalam menghadapi bulan Ramadhan kerap menjadi soal serius yang menyebabkan kaum Muslim tidak mengambil kesempatan emas memburu pahala selama bulan Ramadhan. datangnya bulan Ramadhan, banyak dari kaum Muslim yang bersikap biasa-biasa saja. Mereka seolah-olah tidak punya kerinduan untuk berburu pahala, kesempatan bertobat, dan meluruskan niat. Ada ungkapan sinisme yang mengatakan, “Entah mengapa hari-hari ini semakin banyak saja orang yang merasa sudah kebanyakan pahala, sehingga untuk memburunya tidak semangat lagi.”
Nabi Muhammad SAW menyinggung perbedaan sikap antara Muslim yang sejati dengan seorang munafik dalam menyambut bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada bulan terbaik yang mendatangi kaum Muslim melainkan bulan Ramadhan. Dan tidak ada bulan terburuk yang mendatangi kaum munafik selain bulan Ramadhan. Kaum Mukmin siap-siap beribadah sekuat-kuatnya ketika bulan itu datang. Sedangkan kaum munafik tidak menyiapkan apa-apa kecuali ingin membuat manusia lalai dan membuka aurat mereka. Bulan Ramadhan adalah gembala bagi orang Mukmin dan siksaan bagi kaum munafik.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Nabi Muhammad SAW menyinggung perbedaan sikap antara Muslim yang sejati dengan seorang munafik dalam menyambut bulan Ramadhan. Rasulullah SAW bersabda: “Tidak ada bulan terbaik yang mendatangi kaum Muslim melainkan bulan Ramadhan. Dan tidak ada bulan terburuk yang mendatangi kaum munafik selain bulan Ramadhan. Kaum Mukmin siap-siap beribadah sekuat-kuatnya ketika bulan itu datang. Sedangkan kaum munafik tidak menyiapkan apa-apa kecuali ingin membuat manusia lalai dan membuka aurat mereka. Bulan Ramadhan adalah gembala bagi orang Mukmin dan siksaan bagi kaum munafik.” (HR. Ahmad dan al-Baihaqi)
Menganggap puasa Ramadhan sebatas ritual
Banyak orang yang puasa di bulan Ramadhan hanya karena orang lain berpuasa. Puasanya dijalankan hanya sekadar ikut-ikutan. Puasa hanya dinilai menahan makan dan minum dari pagi sampai petang. Orang semacam ini hanya menganggap puasa Ramadhan sebagai ritual belaka atau sekadar menggugurkan kewajiban. Padahal, tujuan dari syariat puasa adalah untuk menyucikan hati dan jiwa manusia, serta usaha ketundukan tanpa syarat kepada Allah SWT Yang Maha Kuasa.
Lalu puasa adalah upaya pembebasan rohani ke taraf yang lebih tinggi, atau kembali ke asalnya yang murni, sebelum ia menempati jasad ragawi yang selalu membutuhkan makan dan minum. Tidaklah mengherankan jika Allah SWT berjanji bahwa Dia sendiri yang akan menilai dan mengganjar pahala puasa setiap Muslim. Sebab puasa adalah ibadah kesunyian yang tidak demonstratif seperti shalat, zakat, maupun haji. Orang boleh saja mengaku puasa di hadapan orang lain tanpa harus mengundang kecurigaan bahwa dirinya memang betul-betul berpuasa atau hanya sekadar berpura-pura.
Dengan karakteristik seperti itu, ibadah puasa bertujuan untuk mendidik kaum Muslim agar jujur kepada dirinya sendiri, tunduk secara ikhlas kepada Allah SWT, serta tak ketinggalan menumbuhkan empati sosial terhadap orang-orang yang tak berpunya, yang untuk makan dan minum saja belum tentu mendapatkannya dalam satu hari.
Lalu puasa adalah upaya pembebasan rohani ke taraf yang lebih tinggi, atau kembali ke asalnya yang murni, sebelum ia menempati jasad ragawi yang selalu membutuhkan makan dan minum. Tidaklah mengherankan jika Allah SWT berjanji bahwa Dia sendiri yang akan menilai dan mengganjar pahala puasa setiap Muslim. Sebab puasa adalah ibadah kesunyian yang tidak demonstratif seperti shalat, zakat, maupun haji. Orang boleh saja mengaku puasa di hadapan orang lain tanpa harus mengundang kecurigaan bahwa dirinya memang betul-betul berpuasa atau hanya sekadar berpura-pura.
Dengan karakteristik seperti itu, ibadah puasa bertujuan untuk mendidik kaum Muslim agar jujur kepada dirinya sendiri, tunduk secara ikhlas kepada Allah SWT, serta tak ketinggalan menumbuhkan empati sosial terhadap orang-orang yang tak berpunya, yang untuk makan dan minum saja belum tentu mendapatkannya dalam satu hari.
Tidak mengetahui hukum puasa
Perlu digarisbawahi, ukuran diterimanya ibadah di sisi Allah SWT, selain ikhlas adalah mengetahui ilmunya. Ibnu Ruslan dalam karyanya, Matan Zubad menuliskan sebuah bait indah yang berbunyi: “Wa kullu man bi ghairi ilmin ya'malu, a'maluhu mardudatun la tuqbalu (setiap orang yang mengamalkan suatu ibadah tanpa ilmu, maka amalannya itu tidak diterima).”
Bait tersebut merujuk pada keterangan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, yang menyebutkan: “Barang siapa yang beramal tidak mengikuti perintah kami, maka akan ditolak.”
Sebab itu, patut bagi setiap Muslim mengetahui seluk-beluk mengenai puasa Ramadhan dengan membaca-baca buku maupun mendengar ceramah dari para ustaz, kyai, guru, atau orang lain yang lebih mengatahuinya, terutama terkait dengan apa yang membatalkan puasa, apa yang membatalkan pahala puasa, dan sebagainya.
Bait tersebut merujuk pada keterangan hadis yang diriwayatkan Imam Muslim, yang menyebutkan: “Barang siapa yang beramal tidak mengikuti perintah kami, maka akan ditolak.”
Sebab itu, patut bagi setiap Muslim mengetahui seluk-beluk mengenai puasa Ramadhan dengan membaca-baca buku maupun mendengar ceramah dari para ustaz, kyai, guru, atau orang lain yang lebih mengatahuinya, terutama terkait dengan apa yang membatalkan puasa, apa yang membatalkan pahala puasa, dan sebagainya.
Terlalu memikirkan makanan dan minum
Siapa bilang orang yang berpuasa merasa jauh dari makanan dan minuman? Justru makanan dan minuman yang selalu berseliweran di benak orang yang berpuasa. Tidak salah lagi, hampir sepanjang hari orang yang berpuasa memikirkan makana dan minuman, mulai dari merencanakan ingin berbuka puasa di mana, apa menu yang ingin dikudapnya, atau memasak sendiri penganan saat berbuka.Boleh jadi, pikiran akan makanan dan minuman ini lebih besar porsinya ketimbang konsentrasi untuk melakukan shalat-shalat sunnah, tadarus Al-Qur’an, zikir, dan ibadah-ibadah lainnya.
Melakukan hal-hal selain ibadah secara berlebihan
Bukan hal aneh jika selama puasa Ramadhan berlangsung sebagian besar orang malah tambah berat badannya. Hal ini dapat terjadi karena selama bulan puasa, porsi makan bukan berkurang malah bertambah. Saat sahur banyak orang yang makan sebanyak-banyaknya, seolah khawatir akan kelaparan dan kehausan. Sementara begitu tiba saat berbuka, kembali mereka makan dan minum seolah tidak menemui makan selama 24 jam. Makannya begitu lahap. Minumnya seperti orang kalap.
Perilaku berlebihan lainnya adalah menghabiskan banyak waktu untuk tidur. Memang benar ada hadis yang menyebutkan bahwa tidurnya orang yang berpuasa dinilai ibadah. Namun, bukan berarti jika tidur sepanjang hari lantas merasa bahwa hal itu juga ibadah. Tidur sepanjang hari, atau menghabiskan sebagian besar waktu puasa dengan tidur sama saja tidak melatih raga untuk merasakan beratnya puasa. Nilai apa yang didapat jika puasa tidak dirasakan sama sekali?
Berkebalikan dengan orang yang lebih banyak tidur saat puasa adalah orang yang amat sibuk selama puasa. Namun kesibukannya itu bukan untuk ibadah, melainkan untuk sekadar menghabiskan waktu agar tak terasa dilalui. Misalnya, menghabiskan waktu dengan bermain video games, menonton tv, film, mendengarkan music, dan hal-hal yang jauh sekali kaitannya dengan ibadah.
Begitu pula, dengan kegiatan untuk mengunjungi satu sama lain yang terlalu sering hanya untuk sekadar mengobrol agar waktu berjam-jam terlewati. Padahal kegiatan ini dapat diganti dengan yang lebih baik semisal membaca Al-Qur’an. Secara rata-rata dengan membaca tartil kecepatan sedang, satu juz Al-Qur’an bisa diselesaikan dalam 30 menit. Kira-kira berapa juz yang terbuang jika digunakan untuk mengobrol yang tidak perlu?
Banyak pula orang yang tidak sekadar melakukan kunjungan, tetapi tidak jarang obrolan diisi dengan hal-hal yang membuat pahala puasa sia-sia. Misalnya, membiacrakan orang lain, menggunjing, mengadu domba, dan sebagainya. Padahal Rasulullah Saw berpesan begini: “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan sia-sia dan hal yang bodoh, maka tidak ada pahala dari sisi Allah, kecuali orang tersebut hanya meninggalkan makan dan minum belaka.” (HR. Al-Bukhariy)
Perilaku berlebihan lainnya adalah menghabiskan banyak waktu untuk tidur. Memang benar ada hadis yang menyebutkan bahwa tidurnya orang yang berpuasa dinilai ibadah. Namun, bukan berarti jika tidur sepanjang hari lantas merasa bahwa hal itu juga ibadah. Tidur sepanjang hari, atau menghabiskan sebagian besar waktu puasa dengan tidur sama saja tidak melatih raga untuk merasakan beratnya puasa. Nilai apa yang didapat jika puasa tidak dirasakan sama sekali?
Berkebalikan dengan orang yang lebih banyak tidur saat puasa adalah orang yang amat sibuk selama puasa. Namun kesibukannya itu bukan untuk ibadah, melainkan untuk sekadar menghabiskan waktu agar tak terasa dilalui. Misalnya, menghabiskan waktu dengan bermain video games, menonton tv, film, mendengarkan music, dan hal-hal yang jauh sekali kaitannya dengan ibadah.
Begitu pula, dengan kegiatan untuk mengunjungi satu sama lain yang terlalu sering hanya untuk sekadar mengobrol agar waktu berjam-jam terlewati. Padahal kegiatan ini dapat diganti dengan yang lebih baik semisal membaca Al-Qur’an. Secara rata-rata dengan membaca tartil kecepatan sedang, satu juz Al-Qur’an bisa diselesaikan dalam 30 menit. Kira-kira berapa juz yang terbuang jika digunakan untuk mengobrol yang tidak perlu?
Banyak pula orang yang tidak sekadar melakukan kunjungan, tetapi tidak jarang obrolan diisi dengan hal-hal yang membuat pahala puasa sia-sia. Misalnya, membiacrakan orang lain, menggunjing, mengadu domba, dan sebagainya. Padahal Rasulullah Saw berpesan begini: “Barang siapa tidak meninggalkan perkataan sia-sia dan hal yang bodoh, maka tidak ada pahala dari sisi Allah, kecuali orang tersebut hanya meninggalkan makan dan minum belaka.” (HR. Al-Bukhariy)
Menjalani Puasa Tetapi Tidak Shalat
Kebiasaan ini banyak sekali dilakukan kaum Muslim. Mereka puasa, tetapi meninggalkan kewajiban shalat. Padahal kunci dari baiknya semua ibadah kepada Allah SWT adalah shalat. Sebab shalat adalah tiang agama. Tidak ada alas an apa pun yang dapat membatalkan kewajiban shalat. Bahkan orang yang sakit pun wajib shalat, selama akal dan pikirannya masih berkerja normal. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa orang yang berpuasa namun tidak shalat, maka puasanya itu akan sia-sia atau rusak.
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaraka wa Taala mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu. Pada riwayat lain disebutkan, ‘Bilamana shalat seseorang itu baik maka baik pula amalnya, dan bilamana shalat seseorang itu buruk maka buruk pula amalnya.’” (HR. Ath-Thabarani)
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya amal hamba yang pertama kali akan dihisab pada hari kiamat adalah shalatnya. Apabila shalatnya baik, dia akan mendapatkan keberuntungan dan keselamatan. Apabila shalatnya rusak, dia akan menyesal dan merugi. Jika ada yang kurang dari shalat wajibnya, Allah Tabaraka wa Taala mengatakan,’Lihatlah apakah pada hamba tersebut memiliki amalan shalat sunnah?’ Maka shalat sunnah tersebut akan menyempurnakan shalat wajibnya yang kurang. Begitu juga amalan lainnya seperti itu. Pada riwayat lain disebutkan, ‘Bilamana shalat seseorang itu baik maka baik pula amalnya, dan bilamana shalat seseorang itu buruk maka buruk pula amalnya.’” (HR. Ath-Thabarani)
Repost From : Klik